Perkembangan Peserta Didik


1. A.  Makna Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak dan masa dewasa, dimulai dari pubertas,yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik maupun psikis.

Masa remaja disebut juga adolescence, yang dalam bahasa latin berasal dari kata adolescere yang berarti “ to grow into adulthood “. Adolesen merupakan periode transisi dari anak ke masa dewasa, yang mana terjadi perubahan dalam sapek biologis, psikologis, dan social. Menurut Laurence Steinberg (2002) ada 3 perubahan fundamental pada masa remaja, yaitu sebagai berikut :
1.      Biologis seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah dada pada anak wanita, dan tumbuhnya kumis pada anak pria
2.      Kogisi, yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep yang abstrak dan mampu berfikir hipotesis.
3.      Social, yaitu perubahan dalam status social yang memungkinkan remaja masuk keperanan atau aktivitas baru.

B.     Karakteristik Setiap Aspek Perkembangan

1.Perkembangan Fisik
Aspek hormonal yang mempengaruhi perkembangan fisik remaja adalah kelenjar endoktrin yang melibatkan interaksi antara kelenjar hypothalamus (sebuah struktur dalam porsi otak yang paling tinggi yang memonitor makan,minum, dan seks ) kelenjar pituitary (kelenjar endoktrin yang enting untuk mengontrol pertumbuhan dan regulasi kelenjar lainnya) dan gonads ( kelenjar seks, yaitu testis pada pria dan ovaries pada wanita).

2. Perkembangan Kognitif
         Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan (kapasitas) individu untuk memanipulasi dan mengingat informasi.           Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif remaja berada pada tahap “ formal operation stage “, yaitu tahap ke empat atau terakhir dari tahapan perkembangan kognitif. Tahapan berfikir formal ini terdiri atas dua subperiode (Broughton dalam John W.Santrock, 2010:97), yaitu :

a.       Early Formal Operation Thought, kemampuan remaja untuk berfikir dengan cara-cara hipotetik yang menghasilkan pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang berbagai kemungkinan yang tidak jelas.
b.      Late Formal Operation Thought, yaitu remaja mulai menguji pikirannya yang belawanan dengan pengalamanya yang mengembalikan keseimbangan intelektualnya.

Kemampuan berfikir hipotetik, berarti remaja telah dapat mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan dimasa mendatang dan membuat untuk masa mendatang.
Ketidakmatangan berfikir remaja itu, menurut David Elkin (Diane E. Papalia,et.al.,alih bahasa A.K. Anwar 2008:561-562) dimanifestasika kedalam enam karakteristik, yaitu :
a.       Idealisme dab kekritisan
b.      Argumentavitas
c.       Ragu-ragu
d.      Menunjukan hypocrisy
e.        Kesadaran diri
f.       Kekhususan dan ketangguhan
3. Perkembangan identitas diri (self-identity)

Identitas diri merupakan potret diri yang meliputi berbagai hal (Santrock, 2008) sebagai berikut :
a.       Vacationaal/career identity
b.      Political identity
c.       Religious identity
d.      Relationship identity
e.       Achievement, intellectual identity
f.       Sexual identity
g.      Cultural/ethnic identity
h.      Interest identity
i.        Personality identity
j.        Physical identity

4.   Perkembangan Emosi
Meskipun pada usia remaja kemampuan kognitifnya telah berkembang dengan baik, yang memungkinkannya untuk dapat mengatasi stres atau fluktuasi emosi secara efektif, tetapi ternyata masih banyak remaja yang belum mampu mengelola emosinya, sehingga mereka banyak mengalami depresi, marah-marah, dan kurang mampu meregulasi emosi. Kondisi ini dapat memicu masalah, seperti kesulitan belajar, penyalahgunaan obat, dan perilaku menyimpang.
Terdapat beberapa kompetensi emosi yang penting bagi remaja, dan perlu dikembangkan, yaitu sebagai berikut.
1.    Menyadari bahwa pengungkapan (ekspresi) emosi memainkan peranan penting dalam berhubungan sosial.
2.    Kemampuan mengatasi emosi yang negatif dengan strategi regulasi diri dapat mengurangi intensitas dan durasi kondisi emosi.
3.    Memahami bahwa kondisi emosi dari dalam tidak selalu berhubungan dengan pengungkapan (ekspresi) ke luar (Remaja menjadi lebih matang dimulai dengan memahami bahwa ekspresi emosinya memberikan dampak kepada orang lain.
4.    Menyadari kondisi emosi sendiri tanpa terpengaruh oleh emosi tersebut.
5.    Dapat membedakan emosi orang lain.

5. Perkembangan Kepribadian
Lima faktor besar kepribadian, yaitu keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience), kesadaran (conscientiousness), ekstraversi (extraversion), agreeableness, dan neurotis (neuroticism atau emotional stability). Kelima faktor tersebut disingkat ke dalam akronim OCEAN.Beberapa penelitian tentang faktor-faktor kepribadian di atas terhadap remaja, menunjukkan bahwa faktor conscientiousness menjadi predikator kunci bagi penyesuaian dan kompetensi remaja.
Terkait dengan perubahan kepribadian pada individu, para ahli psikologi mengemukakan bahwa lebih baik memandang kepribadian tidak hanya dari pendekatan “traits” tetapi juga dari pendekatan “context” atau situasi. Pendekatan “traits” mengabaikan faktor lingkungan, dan sangat menekankan aspek stabilitas kepribadian, dan kurang memerhatikan faktor perubahannya. Dewasa ini para ahli psikologi bersifat interaksionis, yang berpendapat bahwa kedua pendekatan, yaitu traits dan contexs perlu diperhitungkan dalam upaya memahami kepribadian.

6.      Perkembangan Kesadaran Beragama
Masa remaja sebagai segmen dari siklus kehidupan manusia, menurut agama merupakan masa starting point pemberlakuan hukum ayar’I (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah) bagi seorang insan yang sudah baligh (mukallaf). Oleh karena itu, remaja sudah seharusnya melaksanakan nilai-nilai atau ajaran agama dalam kehidupannya. Pemikiran ini didasarkan kepada sabda Rasullullah Saw, yang artinya: “Pena (pencatat amal) itu diangkat untuk tiga kategori manusia, yaitu jabang bayi sampai remaja, orang tidur sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh kembali”.
Berdasarkan hadis di atas, masa remaja sudah masuk kelompok mukallaf. Sebagai mukallaf, remaja (laki-laki atau perempuan) dituntut untuk memiliki keyakinan dan kemampuan mengaktualisasikan (mengamalkan) nilai-nilai agama (akidah, ibadah, dan akhlak) dalam kehidupannya sehari-hari.
Kemampuan remaja untuk mengaktualisasikan nilai-nilai agama, sangatlah heterogen (beragam). Keragaman itu dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
(1)  remaja yang mampu mengamalkannya secara konsisten;
(2)  remaja yang tidak mengamalkannya secara insidental (kadang-kadang);
(3) remaja yang tidak mengamalkan ibadah mahdhah, tetapi dapat berinteraksi sosial dengan orang lain (hablumminannaas) secara baik;
(4) remaja yang melecehkan nilai-nilai agama secara keseluruhan, dalam arti mereka tidak mengamalkan perintah Allah, dan justru melakukan apa yang diharamkan-Nya.

A.    Masa Remaja Awal (Usia 13-16 Tahun)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat dengan tumbuhnya ciri-ciri keremajaan yang terkait dengan matangnya organ-organ seks. Pertumbuhan fisik yang  terkait dengan seksual ini mengakibatkan terjadinya goncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran pada diri remaja. Bahkan lebih jauhnya lagi kondisi ini dapat mempengaruhi kesadaran beragamanya, apalagi jika remaja kurang mendapatkan pengalaman atau pendidikan agama sebelumnya.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal.

B.     Masa Remaja Akhir (Usia 17-21)
Secara psikologis, pada masa ini emosi remaja sudah mulai stabil dan pemikirannya mulai matang. Dalam kehidupan beragama, remaja sudah melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya (ada yang taat dan ada yang tidak taat).
Pada 1996/1997 penulis pernah melakukan penelitian terhadap para siswa SMK di Jawa Barat (Kota dan Kabupaten Bandung, Cirebon, Bogor, dan Bekasi), yang responsdennya berjumlah 652 siswa. Hasilnya penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun usia siswa tersebut telah berada pada masa remaja akhir, namun ternyata belum semuanya menunjukkan kesadaran beragama yang sesuai dengan yang diharapkan. Faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, diduga karena mereka berasal dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang iklim keberagamannya relatif berbeda.
Di antara mereka masih ada yang belum mampu mengendalikan dirinya dari perbuatan yang melanggar norma agama.

C. Penyebab Kenakalan Remaja
Kenakalan siswa (remaja) yang sering terjadi di dalam sekolah dan masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri (Sudarsono:125-131). Kenakalan remaja tersebut timbul karena adanya beberapa sebab antara lain :
a.       Keadaan Keluarga
Keadaan keluarga yang dapat menjadikan sebab timbulnya kenakalan remaja dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) maupun jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan. Broken home terutama perceraian atau perpisahan orang tua dapat mempengaruhi perkembangangan anak. Dalam keadaan ini anak frustasi, konflik-konflik psikologis sehingga keadaan ini dapat mendorong anak menjadi nakal.
Keadaan keluarga merupakan salah satu penyebaba kenakalan remaja juga dapat ditimbulkan oleh kebiasaan perilaku orang tua, seperti dikemukankan oleh Papalia, Olds dan Feldman (2001 : 474 ) sebagai berikut, ”Parent cronic deliquent often failed to reinforce good behavior in early childhood and were harsh or inconsaistent, or both, in punishing misbehavior.” Pendapat senada dikemukakan Mustafit Amna (2002 : 2) yang mengatakan faktor keluarga penyebaba kenakalan anak adalah perhatian dan penghayatan dan pengamalan orang tua atau keluarga terhadap agama. Nelson, Rutter, dan Giller dalam Easler dan Medway (2004:74) juga mengatakan. ” …. Antisocial behaviors resulf from socialization processes at home or in peer group.”
b.      Keberadaan Pendidikan Formal
Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman dan penerapan disiplin terlalu ketat, di harmonis hubungan siswa dan guru, kurangnya kesibukan belajar di rumah. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerapkali memberikan pengaruh kepada siswa untuk berbuat nakal, sering disebut kenakalan remaja.
Di dalam sekolah terjadi interaksi antara remaja (siswa) dengan sesamanya, juga interaksi antara siswa dengan pendidik, interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif. Seperti pendapat Sri Jayantini (2004:3) yang mengatakan sifat anak yang selalu ingin mengungguli temannya dengan cara menekan atau mengancam bila dibiarkan saja, memberikan peluang bagi anak untuk menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan.
Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semuanya berwatak baik, baik dari kebiasaan anak yang negatif maupun dari faktor keluarga anak (siswa). Dengan keadaan ini akan mudah menimbulkan konflik-konflik psikologis yang dapat menyebabakan anak menjadi nakal. Pengaruh negatif sekolah juga dapat datang dari yang langsung menangani proses pendidikan antara lain : kesulitan ekonomi yang dialami pendidik, pendidik sering tidak masuk, pribadi pendidik yang tidak sesuai dengan jiwa pendidik.
c.       Keadaan Masyarakat
Anak remaja (siswa) sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari lingkungan masyarakatnya. Pengaruh tersebut adanya beberapa perubahan sosial yang cepat yang ditandai dengan peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan seperti persaingan dalam ekonomi, pengangguran, masmedia, dan fasilitas rekreasi.
Pada dasarnya kondisi ekonomi memiliki hubungan erat dengan timbulnya kejahatan. Adanya kekayaan dan kemiskinan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia, sebab kedua hal tersebut mempengaruhi jiwa manusia dalam hidupnya termasuk anak-anak remaja. Anak dari keluarga miskin ada yang memiliki perasaan rendah diri sehingga anak tersebut dapat melakukan perbuatan melawan hukum terhadap orang lain. Seperti pencurian, penupian dan penggelapan. Biasanya hasil yang diperoleh hanya untuk berfoya-foya.
Timbulnya pengangguran yang semakin meningkat di dalam masyarakat terutama anak-anak remaja akan menimbulkan peningkatan kejahatan bahkan timbilnya niat di kalangan remaja untuk berbuat kejahatan. Keadaan ini tentunya dapat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar sehingga kadang jadi tidak bersemangat untuk belajar.
Di kalangan masyarakat sendiri sudah sering terjadi kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, pemerasan, gelandangan, dan pencurian. Bagi anak remaja keinginan berbuat jahat kadang timbul karena bacaan, gambar-gambar dan film. Kebiasaan membaca buku yang tidak baik (misal novel seks), pengaruh tontonan gambar-gambar porno serta tontonan film yang tidak baik dapat mempengaruhi jiwa anak untuk berperilaku negatif. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Barak yang ditulis Grochowski (2002:340) yang mengatakan, ”The perception of crime is the product of the Media ”Multiplied” by the ”Additive” effects of the political economy and cultur over time.”
 Cara Mengatasi Kenakalan Remaja
Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orang tua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan paksaan maupun mengada-ada. Si remaja di beri pengertian yang jelas sekaligus diberikan teladan. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu ’ kluyuran ” tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah sehari-hari, mereka dididik mandiri.
Orang tua hendaknya membantu memberikan pengarahan masa depan si remaja, mereka diarahkan agar dapat memilih sekolah yang diharapkan serta mengembangkan bakat yang ada, untuk pemilihan study lanjut tidak semata-mata karena keinginan orang tua dan pilihan orang tua. Pemaksaan ini justru akan berakhir dengan kekecewaan, sebab meski ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orang tuanya, tetapi tidak sedikit yang frustasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi bersama kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.
Dengan banyaknya waktu luang yang dimiliki remaja maka tindakan iseng sering dilakukan untuk mengisi waktu luang hal ini dimaksudkan juga untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapakan dapat berasal dari orang tuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu di malam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, dan sebagainya.
Oleh karena itu orang tua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orang tua, maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orang tua hendaknya hanya membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada kemungkinan keisengan remaja adalah semacam ”refresing” atas kejenuhannya dengan urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak suka berkelahi orang tua bisa mengarahkannya pada satu kelompok kegiatan bela diri.
Dalam memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orang tua hendaknya bersikap seimbang, seimbang antara pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian agar meraka tidak ketakutan dengan orang tua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orang tua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun harus tetap dijaga agar mereka tidak salah jalan, menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.
Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orang tua dengan anak. Apabila orang tua tidak setuju hendaknya diutarakan dengan bijaksana jangan hanya dengan kekuasaan dan kekerasan. Berilah pengertian sebaik-baiknya, bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk menengahinya. Hal yang penting disini adalah adanya komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Orang tua hendaknya menjadi sahabat anak Orang tua hendaknya selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak merasa takut mengutarakan masalahnya kepada orang tua.
Selanjutnya apabila suasana dirumah nyaman, orang tua tidak berlaku otoriter dan anak merasakan kedamaian dan kasih sayang di rumah komunikasi terjalin dengan baik antara orang tua dengan anak, serta penanaman nilai agama diberikan sejak dini maka anak tidak akan berlaku mencari perhatian dan kenyamanan di luar rumah yang bisa mengakibatkan terjerumus pada kenakalan remaja yang lebih parah lagi kalau anak sudah masuk dalam penggunaan obat-obat terlarang serta narkoba.
2.   Pengertian Kemandirian Remaja
 Dalam Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.
Dalam istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy). Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.
Dari beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya sendiri.
Fasick dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) dari para remaja.
Pengertian kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah Self (Brammer dan Shostrom, 1982) karena diri itu merupakan inti dari kemadirian. Kalau menelusuri berbagai literature, sesungguhnya banyak sekali istikah berkenaan dengan diri. Sunaryo Kartadinata (1988) berhasil menginventarisasi sejumlah istilah yang dikemukakan para ahli yang makna dasarnya relevan dengan diri, yaitu self determinism (Emil Durkheim), autonomous morality (Jean Piaget), ego integrity (Erick E. Erickson), the creative self (Alfred Adler), self-actualization (Abraham H. Moslow), self-system (harry Stack Sullivan), real-self (Caren Horney). Self-efficiacy (Albert Bandura), self-expansion, self-esteem, self-pity, self-respect, self-sentience, self-sufficiency, self-expression, self-direction, self-structure, self-contempt, self-control, self-righteousness, self-effacement (Hall dan Linzey).

2.   Factor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian Anak Dan Remaja

Kemandirian merupakan aspek yang berkembang dalam diri setiap orang, yang bentuknya sangat beragam, pada tiap orang yang berbeda, tergantung pada proses perkembangan dan proses belajar yang dialami masing-masing orang. Ada banyak factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian anak, namun ada beberapa factor yang sangat berperan banyak dalam membentuk kemandirian anak.
1)      Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, factor keturunan ini masih menjadi persebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesunguuhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasrkan cara orang tua mendidik anaknya.
2)      Pola asuh orang tua. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata jangan kepada anaknya tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian.
3)      Sistem pendidikan disekolah. Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan demokrasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinisasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja.
4)      Sistem kehidupan dimasasyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur social, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang mengahargai manifestasi potensu remaja dalam kegitan prosuktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja.
3. Perkembangan Karir Remaja
Perkembangan karir remaja  menurut Ginzberg (dalam Sunarto.2002:202) ada pada pilihan tentatif (11 – 17 tahun)  itu ditandai oleh meluasnya pengenalan anak terhadap berbagai masalah dalam memutuskan pekerjaan apa yang akan dikerjakannya di masa datang.  Periode tentatif ini meliputi empat tahapan, yaitu:
1)    Tahap minat (11 – 12 tahun)
Remaja sudah mulai mempunyai rencana dan kemungkinan pilihan karir yang didasarkan pada minat. Anak belajar tentang apa yang ia suka lakukan, dan anak melakukan pilihan-pilihan secara tentatif atas dasar faktor-faktor subyektif, belum didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan objektif.
2)    Tahap kapasitas (12-14 tahun)
Remaja mulai menggunakan keterampilan dan kemampuan pribadinya sebagai pertimbangan dalam melakukan pilihan dan rencana karir. Remaja mulai menilai kemampuannya berperan baik dalam bidang pendidikan dan pekerjaan yang diminati. Kecenderungan mengidentikkan dengan orang tua berkurang, sebaliknya remaja makin cenderung mengidentikkan dengan orang lain yangmenjadi idolanya.
3)    Tahap nilai 915-16 tahun)
Dalam tahap ini remaja telah menganggap penting peranan nilai-nilai pribadi dalam proses pilihan karir. Anak mulai melihat apa yang sesungguhnya penting bagi dirinya, tahu perbedaan konsepsi tentang berbagai gaya hidup yang disiapkan oleh pekerjaan, kesadaran tentang pentingnya waktu mulai berkembang dan menjadi lebih sensitif terhadap perlunya pekerjaan.
4)    Tahap transisi (17-18 tahun)
Dalam tahap transisi ini remaja mulai bergerak dari pertimbangan-pertimbangan realistis yang masih berada di pinggir kesadaran ke dalam posisi yang lebih sentral. Pada tahap in anak mulai menghadapi perlunya membuat keputusan dengan segera, kongkrit, dan realistis tentang pekerjaan yang akan datang atau pendidikan yang mempersiapkannya ke suatu pekerjaan tetrtentu nanti. Anak makin bebas bertindak sehingga memungkinkan ia melakukan uji coba keterampilan dan bakat-bakatnya. Dalam periode pilihan realistis remaja telah sampai pada tahap eksplorasi, yaitu mencari berbagai alternatif pekerjaan yang cocok, dan tahap kristalisasi yaitu melakukan pilihan karir.

4. arti kata
1.      Paedagogik : mendidik
2.      Kognitif : berdasarkan kepada pengetahuan factual yang empiris (nyata)
3.      Afektif : berkenaan dengan perasaan / emosi (seperti cinta, takut)
4.      Psikomotorik : berhubungan dengan aktifitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi
5.      Behavior : sikap / tingkah laku kita sehari-hari
6.      Nativisme : sikap / paham yang menolak pengaruh dan gagasan
7.      Empirisme : teori yang mengatakan bahwa semua pengetahuan didapat dengan pengalaman
8.      Konvergensi : keadaan menuju satu titik pertemuan / memusat
9.      Psikologi : ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku (ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa)
10.  Psiko-fisis : kepribadian bukanlah semata-mata material fisik, tetapi merupakan perpaduan kerja antara aspek psikis dan fisik dalam kesatuan pribadi ( jiwa dan raga menjadi suatu kesatuan pribadi)
11.  Psiko-sosial : cabang ilmu psikologi yang meneliti dampak atau pengaruh social terhadap perilaku manusia.
12.  Psiko-emosional : ilmu psikologi yang meneliti dampak atau pengaruh emosi terhadap manusia
13.  Self-esteem : penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya (harga diri)
14.  Blue print : fotografi cetak rencana atau gambar teknis
15.  Ambivalen : bercabang dua yang saling bertentangan seperti mencintai dan membenci sekaligus terhadap orang yang sama
16.  Konstelasi : kumpulan orang, sifat, atau benda yang berhubungan (keadaan, bentuk, gambaran)
17.  Kurikulum : kegiatan / susunan program belajar
18.  Silabus : kerangka unsur pendidikan, disajikan dalam aturan yang logis atau dalam tingkat kesulitan yang makin meningkat
19.  Metode : cara yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki
20.  Eksplorasi : penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak
21.  Simulasi : metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya
22.  Stimulus : perangsang organisme bagian tubuh atau reseptor lain untuk menjadi aktif
23.  Konotasi : tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata
24.  Elaborasi : mengerjakan sesuatu secara tekun dan cermat
25.  Afirmasi : pernyataan atau pengakuan yang sungguh-sungguh
26.  Attitude : perilaku / karakter
27.  Sublimasi : perubahan kearah satu tingkat yang lebih tinggi
28.  Afiliasi : bentuk kerjasama antara dua lembaga pendidikan biasanya yang satu lebih besar daripada yang lain, tetapi masing-masing berdiri sendiri. Bantuan yang diberikan oleh lembaga yang lebih besar dalam bentuk personel, peralatan atau fasilitas pendidikan
29.  Persepsi : tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu
30.  Maturity : periode waktu dalam hidup seseorang setelah pertumbuhan fisik telah berhenti dan sepenuhnya dikembangkan ( kualitas / keadaan menjadi dewasa )


Previous
Next Post »
Thanks for your comment