Toleransi dalam Pandangan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
 I.  LATAR BELAKANG
Dalam sejarah kehidupan umat Islam, sikap toleransi telah diletakkan sejak saat-saat awal Nabi Muhammad s.a.w. membangun negara Madinah.
Sesaat setelah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke kota Madinah, Nabi segera melihat kenyataan akan adanya pluralitas yang terdapat di kota Madinah. Plralitas yang dihadapi Nabi Muhammad s.a.w. antara lain tidak hanya karena perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan yang disebabkan agama. Madinah tidak bersifat homogen dengan agama, disamping penduduk yang beragama Islam, terdapat pula penduduk yang beragama Yahudi dan Nasrani bahkan juga kau Musyrikin. Melihat pluralitas keagamaan ini Nabi Muhammad s.a.w. berinisiatif membangun kebersamaan dengan yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam pandangan Nurcholish Majid (1992: 195) Piagam Madinah merupaka dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Yahudi dan Kristen di mana saja, sepanjang masa (Ajat Sudrajat dkk, 2008: 142-143).
Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, hal itu tidak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah s.w.t. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah s.w.t., Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Allah s.w.t. dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu.
II.    RUMUSAN MASALAH
  1. Apa arti toleransi ?
  2. Bagamana toleransi antar umat Islam dan toleransi umat Islam dengan non Muslim?
  3. Apa saja toleransi di dalam Islam?
III.    TUJUAN
  1. Mengetahui arti toleransi.
  2. Mengetahui toleransi antar umat Islam dan toleransi umat Islam dengan non Muslim
  3. Mengetahui apa saja toleransi di dalam Islam
  4. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru PAI
BAB II
PEMBAHASAN
I.       Pengertian Toleransi
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’alamin” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Ajat Sudrajat dkk (2008: 141-142) menerangkan kata Toleransi berasal dari bahasa latin tolelare yang berarti bertahan atau memikul. Dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai, atau memberi tempat pada orang lain walau kedua belah pihak tidak sependapat. Dengan demikian, toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda.
Pandangan kata toleransi dalam bahasa Arab adalah kata tasamuh yang berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan. Menurut Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah liberty to ward the opinions of others, patients with others (memberi kebebasan atau membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain.  Tasamuh dalam bahasa Arab berarti membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengijinkan dan saling memudahkan.
Dari beberapa pendapat diatas, toleransi dapat diartikan sebagai sikap meneggang, membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain, toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kauat atau istiqomah untuk memegangi keyakinan atau pendapat sendiri.
II.      Toleransi Dalam Pandangan Islam
Dalam surat Al Baqarah ayat 256:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Surat Al Baqarah diatas menurut Ajat Sudrajat dkk (2008: 142-148) yang dikutip dari tulisan Qurais Sihab (1994: 368) adalah berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Seseorang yang dengan suka rela dan penuh kesadaran memilih satu agama, maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna.
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat islam bertindak baik dan bertindak adil. Selama tidak bertindak aniaya terhadap umat Islam, maka tidak ada alasan utuk memusuhi apalagi memerangi mereka. Al Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam megutamakan terciptanya suatu perdamaian hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat islam dengan umat beragama lainnya.
Adanya kerjasama yang baik antar umat Islam dan umat beragama lainnya tidaklah menjadi halangan dalam Islam. Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagian kecil bentuk kerjasama yang dapat dilakukan. Keadaan demikian digambarkan dalam Al Qur’an surat At Taubat ayat 6.
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.
Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling member dan menerima demi terwujudnya kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Kompromisme dalam beragama akan melahirkan corak keagamaan yang sinkretik. Betapapun baiknya ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap kaum agama lain, tetapi dalam hal menyangkut pelaksanaan ibadah tidak dapat terjadi kompromi didalamnya. Seperti dalam sural Al Kafiruun menegaskan bahwa kompromi agama tidak mungkin dilakukan oleh umat Islam. Biarlah dalam hal ibadah masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya.
Al Kafiruun ayat 6:
…Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. ( Q.S Al – Kafiruun : 6 )
Dan pada QS. Yunus : 40-41
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya
(al-Qur’ān), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman
kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang
berbuat kerusakan. Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah,
Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab
terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Yūnus/10: 40-41)

Q.S. Yūnus/10: 40 Allah Swt. menjelaskan bahwa setelah Nabi Muhammad
saw. berdakwah, ada orang yang beriman kepada al-Qur’ān dan mengikutinya
serta memperoleh manfaat dari risalah yang disampaikan, tapi ada juga yang tidak
beriman dan mereka mati dalam kekafiran.

Pada Q.S. Yūnus/10: 41 Allah Swt. memberikan penegasan kepada rasul-Nya,
bahwa jika mereka mendustakanmu, katakanlah bahwa bagiku pekerjaanku, dan
bagi kalian pekerjaan kalian, kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan
aku berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan. Allah Swt. Mahaadil dan
tidak pernah ẓalim, bahkan Dia memberi kepada setiap manusia sesuai dengan
apa yang diterimanya.

Dari penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut.
a. Umat manusia yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Terbagi menjadi 2 golongan, ada umat yang beriman terhadap kebenaran kerasulan dan kitab suci yang disampaikannya dan ada pula golongan orang yang mendustakan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan tidak beriman kepada al-Qur’ān.
b. Allah Swt. Maha Mengetahui sikap dan perilaku orang-orang beriman yang selama hidup di dunia senantiasa bertaqwa kepada-Nya, begitu juga orang kafir yang tidak beriman kepada-Nya.
c. Orang beriman harus tegas dan berpendirian teguh atas keyakinannya. Ia
tegar meskipun hidup di tengah-tengah orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.

Ayat di atas juga menjelaskan perlunya menghargai perbedaan dan toleransi.
Cara menghargai perbedaan dan toleransi antara lain tidak mengganggu aktivitas
keagamaan orang lain. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ibn Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap sesama saudaranya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.” (HR. Attirmizy)








III.     Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Toleransi antar umat beragama di Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup antar umat beragama. Istilah tersebut merupakan istilah resmi yang dipakai pemerintah. Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan dibidang keagamaan di Indonesia. Hal ini didasari karena semakin meruncingnya hubungan antar umat beragama yang diantaranya bersumber dari berbagai aspek berikut ini:
  1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau misi
  2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain
  3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah terhadap agama lain
  4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam keidupan masyarakat
  5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama antar umat beragama, maupun antara umat beragaa dengan pemerintah
  6. Kurangya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat (Depag, 1980: 38)
Untuk mengatasi hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalahnya maka dilakukan dialog agama. Dialog aama diselenggarakan sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh agama dalam rangka pembinaan kerukunan umat beragama (Tim Dosen PAI UNY, 202: 122-123)

IV.     Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam Pandangan Islam
1. Menghindari Terjadinya Perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dan Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Imran:103)

2. Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
V.     Karakteristik Toleransi
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
  2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
  3. Kelemah lembutan karena kemudahan
  4. Muka yang ceria karena kegembiraan
  5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
  6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu’amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
  7. Menggampangkan dalam berda’wah ke jalan Allah tanpa basa basi
  8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : ‘Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki’. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : ‘Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat’. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : ‘Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur.”




VI.    Hal Yang Dapat Membantu Sikap Toleransi
a. Menahan Angkara murka
Toleransi itu adalah kerelaan hati dan kelapangan dada bukan karena menahan, kesempitan dan terpaksa sabar melainkan toleransi adalah bukti kebaikan hati, lahir, dan batin.
Hanya saja toleransi tidak dapat dicapai kecuali melalui jembatan menahan angkara murka dan berupaya sabar, bila seorang hamba dapat dengan mantap melewatinya, maka dia akan memasuki pintu-pintu toleransi dengan pertolongan dan taufik dari Allah.
Allah ta’ala berfirman memuji kaum mukminin,
“ (Yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang berbuat kebajikan” ( Ali Imran: 134 )
Rasulullah SAW bersabda,
“Artinya: Barangsiapa yang dapat menahan angkara murkanya padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan khalayak guna disuruh memilih bidadari mana yang dia kehendaki untuk Allah nikahkan dengannya”[Shahih Al-Jami 6394 dan 6398]
b. Memaafkan dan Berlapang Dada
Para cendekiawan telah mengetahui dengan eksperimen dan realita yang ada, bahwa seorang hamba bila dia melampiaskan kemarahan dirinya, maka dia akan hina dan tergelincir, sementara pada sikap memaafkan dan berlapang dada terdapat kelezatan, ketenangan, kemuliaan jiwa dan keagungan serta ketinggiannya yang tisak terdapat sedikitpun pada sikap pembalasan dan pelampiasan angkara murka.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Artinya: Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta benda, tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan sikap pemaafnya kecuali kemuliaan dan tidaklah seorang bertawadlu karena Allah melainkan Allah mengangkat (derajat) nya” [Hadist Riwayat Muslim 2588 dan lainnya]




c. Mengharapkan Apa yang Ada di Sisi Allah dan Berbaik Sangka Kepada Allah
Pengharapan adalah masalah yang urgen bagi muslim yang menempuh perjalanan (menuju Allah) karena dia berkisar antara dosa yang diharapkan pengampunannya, aib yang diharapkan perbaikannya, amal sholeh yang diharapkan diterima, istiqamah yang diharapkan eksistensinya dan taqarrub kepada Allah serta kedudukan disisi-Nya yang diharapkan tercapai. Barangsiapa yang mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya maka dia akan memaafkan orang lain, sebab Allah s.w.t. tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Artinya: Ada seorang lelaki yang tidak berbuat kebajikan sama sekali, dulunya ia biasa menghutangi orang lain, dia menyuruh utusannya: “Ambillah yang mudah dan tinggalkan yang kesulitan, maafkan semoga Allah memaafkan kita!” Tatkala dia meninggal, Allah bertanya: “Apakah engkau pernah beramal kebaikan sedikitpun?” Jawabnya: “Tidak ! Hanya saja saya memiliki seorang budak dan saya biasa menghutangi orang, bila saya mengutusnya untuk menagih hutang saya perintah ia: “Ambillah apa yang lapang biarkan yang kesulitan dan maafkan semoga Allah memaafkan kita” Allah berfirman: “ Sungguh Aku telah memaafkanmu”( Shahih Al-Jami 2074 )

VII.    Contoh Sikap Toleransi Nabi Muhammad SAW
a. Toleransi Beliau Bila Memutuskan
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ada seorang lelaki yang menagih Rasulullah s.a.w. sembari bersikap kasar kepada beliau, maka para sahabat pun hendak menghardiknya, beliau bersabda: “Biarkanlah dia, karena setiap orang mempunyai hak untuk berbicara, belikan untuknya seekor unta lalu berikan kepadanya” Para sahabat berkata: “Kami tidak mendapatkan kecuali yang bagus jenisnya!” Beliau bersabda: “Belikanlah dan berikan kepadanya karena sebaik-baik kalian adalah yang terbaik keputusannya!” [HR. Bukhari 2/482 dan Muslim 11/38]
b. Toleransi Beliau dalam Jual-Beli
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwasanya Nabi s.a.w pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan (dilebihkan). [HR. Bukhari4/269 dan Muslim 3/1223]
Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais ra dia berkata: “Saya dan Makramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi s.a.w. mendatangi kami dan beliau membeli sirwal (celana), sedang aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka Nabi s.a.w. memerintahkan tukang timbang tadi. “Artinya: Timbanglah dan lebihkan !” [HR. Abu Dawud 3336, At-Timidzi 1305, Ibnu Majjah 2200 dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh kami (Al-Albani) dalam Shahih Al-Jami 3568]

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Toleransi umat beragama dalam Islam sangat penting. Bahkan, tolesansi telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Toleansi tidak berarti seseorang harus mengorbankan kepecayaan atau prinsip yang dianut, tetapi berlapang dada terhadap kepercayaan atau prinsip orang lain. Dengan toleransi perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya tidak akan menimbulkan konflik, sehingga tercapai kehidupan yang aman, tentram, dan sejahtera.























Previous
This is the oldest page
Thanks for your comment